Siluet Sang Penari (Tantangan Menulis 365 Hari Gurusiana, Hari ke-259)
(Sebuah novel)
(Episode ke-19)
Dalam remang malam. Terdengar harmoni musik sintren yang terbalut mistis. Penerangan lampu minyak membawa para penikmat seni rakyat terbuai dengan rayuan malam. Kurungan berhias dibuka. Sosok bidadari menggeleng-gelengkan kepala mengikuti irama musik dan lagu. Semua mata tertumbuk pada titik yang sama. Tarih, sang penari yang bersemayam di hati para pemuda, adalah pusat pandang semua mata.
Sang penari keluar arena. Jemari lentik membuka kaca mata hitamnya. Mata cantiknya meliar. Kaki sang penari melangkah pelan. Gerak tubuhnya nan gemulai. Terhenti di hadapan para pemuda yang riang-riang melahap semburat ayu tubuhnya. Dihujamkannya sorot mata penari kepada sosok pemuda nan rupawan. Danang Hermanto, lelaki yang terpilih. Sang penari membuka selendang yang melekat di tubuh. Diikatkannya selendang ke tubuh sang pemuda. Ditariknya pelan, selendang berwarna hijau daun itu.
Tubuh pemuda memasuki area terlarang untuk dijejak penonton, selain penari dan sinden. Semua penikmat sintren yang seluruhnya kaum lelaki itu, berdiri. Mereka meradang karena menganggap bahwa pemuda yang berada di area suci itu telah menodai sang penari sintren. Para lelaki membentuk lingkaran berpegang tangan, mengitari area pertunjukan. Semakin mendekat di mana Tarih dan Danang menari bersama. Para lelaki mengepalkan tinjunya. Suara mereka mengerang ingin memuntahkan amarah yang bergejolak.
“Waoh...” suara lelaki pertama seiring melayangkan tinjunya ke muka Danang. Pria yang dipilih oleh sang penari itu tersungkur kesakitan. Dalam pada itu, Danang terkesiap. Ia membuka mata. Duduk di kursi panjang yang dipasang di ruang keluarga. Napasnya terengah-engah. Danang baru saja bermimpi bersama kekasihnya, dulu. Sosok Tarih sebagai penari sintren, masih melekat di benaknya. Ia meraba kening yang dirasakan sakit karena tinju dalam mimpinya. Benar saja, ada benjolan sebesar kelereng. Diusapnya bekas tojokan itu.
“Auh...sakit sekali. Mengapa begini?” Danang bertanya pada dirinya sendiri. Dilihatnya jam dinding yang menggantung dekat meja makan.
“Pukul 03.13.” gumamnya. Ia berdiri dari tempatnya merajut mimpi. Ditujunya kamar tidur. Pintunya masih menyisakan celah. Terlihat sang istri, Ade, pulas memeluk bantal guling. Kembali menuju kursi panjang tempat ia baru saja menyelesaikan mimpi. Terpekur. Lagi, dipegangnya kening yang menyisakan sakit. Pikirnya sempat tak percaya akan kejadian dalam mimpi yang menyisakan fakta.
“Mungkin dahiku menghantam kayu kursi ini,” logikanya bergumam, “baiknya aku solat malam untuk melelehkan perasaan yang tak karuan ini.” batinnya bertutur. Ditujunya kran untuk berwudu. Danang menyucikan jiwa raganya dengan niat dan air wudu. Ia bersimpuh menemui Robnya. Keluh kesah yang mengobrak-abrik ketenangannya, diungkapkan kepada yang maha membolak-balikkan hati. Meminta pertolongan-Nya agar istikomah merajut kebahagiaan rumah tangga, juga diungkapkannya. Hingga beduk subuh, tubuhnya tak beringsut dari atas sejadah.
Kabut menyapa bunga-bunga jambu yang hendak meluruhkan benang sari, di luar sana. Pelukan embun melekat erat di pohon kelapa yang masih terlelap. Angin menghembuskan dingin, membasuh jelaga yang menggelantung di ujung malam. Setangguk cinta melesap dalam jiwa yang kehilangan arah. Jiwa Danang Hermanto yang terguncang oleh kehadiran potret masa silam.
(Bersambung ke episode-20)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Woooowww makin seru cerita nyaa bund...lanjuuttt
Waduh, sampai benjol. Serasa nyata yah. Keren. Sukses selalu dan barakallahu fiik